ISUE ETIK DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN
I. EUTHANASIA
a.
Pengertian
Istilah euthanasia
berasal dari bahasa yunani “euthanathos”. Eu artinya baik, tanpa penderitaan ;
sedangkan thanathos artinya mati atau kematian. Dengan demikian, secara
etimologis, euthanasia dapat diartikan kematian yang baik atau mati dengan baik
tanpa penderitaan.Ada pula yang menerjemahkan bahwa euthanasia secara
etimologis adalah mati cepat tanpa penderitaan.
Hippokrates pertama
kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates"
yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi
"Saya
tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun
meskipun telah dimintakan untuk itu".
Banyak ragam
pengertian euthanasia yang sudah muncul saat ini. Ada yang menyebutkan bahwa
euthanasia merupakan praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui
cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit
yang minimal, biasanya dilakukuan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Saat ini yang dimaksudkan dengan enthanasia adalah bahwa seorang dokter
mengakhiri kehidupan pasien terminal dengan memberikan suntikan yang mematikan
atas permintaan pasien itu sendiri., atau dengan kata lain euthanasia merupakan
pembunuhan legal.
Belanda, salah satu
Negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kesehatan mendefinisikan
euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari
KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yaitu :
“Euthanasia
adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang
pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri
hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
b.
Jenis-jenis
Euthanasia
Euthanasia dapat digolongkan menjadi beberapa jenis,
sesuai dengan dari mana sudut pandangnya atau cara melihatnya.
Dilihat dari cara
pelaksanaannya, euthanasia dapat dibedakan atas :
1)
Euthanasia pasif
Euthanasia pasif
adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan
yang sedang berlangsung untuk mempertahankan hidup pasin. Dengan kata lain,
euthanasia pasif merupakan tindakan tidak memberikan pengobatan lagi kepada
pasien terminal untuk mengakhiri hidupnya. Tindakan pada euthanasia pasif ini
dilakukan secara sengaja dengan tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien, seperti tidak memberikan alat-alat bantu hidup atau
obat-obat penahan rasa sakit, dan sebagainya.
Penyalahgunaan
euthanasia pasif biasa dilakukan oleh tenaga medis maupun keluarga pasien
sendiri. Keluarga pasien bisa saja menghendaki kematian anggota keluarga mereka
dengan berbagai alasan, misalnya untuk mengurangi penderitaan pasien itu
sendiri atau karena sudah tidak mampu membayar biaya pengobatan.
2)
Euthanasia aktif
atau euthanasia agresif
Euthanasia aktif atau
euthanasia agresif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui
intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup
manusia. Dengan kata lain, Euthanasia agresif atau euthanasia aktif adalah
suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Euthanasia aktif
menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk
mnimbulkan kematian dengan secara sengaja melalui obat-obatan atau dengan cara
lain sehingga pasien tersebut meninggal.
Euthanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas :
-
Euthanasia aktif
langsung (direct)
Euthanasia aktif langsung adalah
dilakukannnya tindakan medis secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri
hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini juga dikenal
sebagai mercy killing.
-
Euthanasia aktif
tidak langsung (indirect)
Euthanasia aktif tidak langsung adalah
saat dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medis untuk meringankan
penderitaan pasien, namun mengetahui adanya risiko tersebut dapat memperpendek
atau mengakhiri hidup pasien.
Ditinjau dari permintaan atau pemberian
izin, euthanasia dibedakan atas :
1)
Euthanasia
Sukarela (Voluntir)
Euthanasia yang
dilakukan oleh tenaga medis atas permintaan pasien itu sendiri. Permintaan
pasien ini dilakukan dengan sadar atau dengan kata lain permintaa pasien secara
sadar dn berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun juga.
2)
Euthanasia Tidak
Sukarela (Involuntir)
Euthanasia yang
dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar. Permintaan biasanya dilakukan
oleh keluarga pasien. Ini terjadi ketika
individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik
dan mental, kekurangan biaya, kasihan kepada penderitaan pasien, dan lain
sebagainya.
Sebagai contoh dari
kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang
berada di dalam keadaan vegetatif (koma). Euthanasia ini seringkali menjadi
bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun
juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak
berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya hanya seorang wali dari pasien
dan mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi pasien tersebut.
II.
ABORSI
a.
pengertian
Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus)
adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan
kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun
setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur.
Dalam ilmu kedokteran, istilah-istilah ini digunakan
untuk membedakan aborsi:
1) Spontaneous
abortion: gugur kandungan yang disebabkan oleh trauma kecelakaan atau
sebab-sebab alami.
2) Induced abortion
atau procured abortion: pengguguran kandungan yang disengaja. Termasuk di
dalamnya adalah:
a) Therapeutic
abortion: pengguguran yang dilakukan karena kehamilan tersebut mengancam
kesehatan jasmani atau rohani sang ibu, kadang-kadang dilakukan sesudah
pemerkosaan.
b)
Eugenic abortion:
pengguguran yang dilakukan terhadap janin yang cacat.
c)
Elective
abortion: pengguguran yang dilakukan untuk alasan-alasan lain.
d) Dalam bahasa sehari-hari,
istilah "keguguran" biasanya digunakan untuk spontaneous abortion,
sementara "aborsi" digunakan untuk induced abortion.
b.
Klasifikasi
Abortus :
1) Abortus spontanea.
Abortus spontanea merupakan abortus yang berlangsung tanpa tindakan, dalam hal
ini dibedakan sebagai berikut:
a) Abortus imminens,
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu,
dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.
b) Abortus
insipiens, Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam
uterus.
c)
Abortus
inkompletus, Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
d)
Abortus
kompletus, semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan.
Etiologi Abortus dapat terjadi karena
beberapa sebab yaitu :
- Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, biasanya menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia 8 minggu. Faktor yang menyebabkan kelainan ini adalah :
-
Kelainan
kromosom, terutama trimosoma dan monosoma X
-
Lingkungan
sekitar tempat impaltasi kurang sempurna
-
Pengaruh
teratogen akibat radiasi, virus, obat-obatan temabakau dan alkohol
- Kelainan pada plasenta, misalnya endarteritis vili korialis karena hipertensi menahun
- Faktor maternal seperti pneumonia, typus, anemia berat, keracunan dan toksoplasmosis.
- Kelainan traktus genetalia, seperti inkompetensi serviks (untuk abortus pada trimester kedua), retroversi uteri, mioma uteri dan kelainan bawaan uterus.
2)
Abortus
provokatus
Abortus provokatus
merupakan jenis abortus yang sengaja dibuat/dilakukan, yaitu dengan cara
menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Pada
umumnya bayi dianggap belum dapat hidup diluar kandungan apabila usia kehamilan
belum mencapai 28 minggu, atau berat badan bayi kurang dari 1000 gram, walaupun
terdapat beberapa kasus bayi dengan berat dibawah 1000 gram dapat terus hidup.
Pengelompokan Abortus provokatus secara
lebih spesifik:
a) Abortus Provokatus
Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus, abortus yang dilakukan dengan disertai
indikasi medik. Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi
menyelamatkan nyawa ibu. Syarat-syaratnya:
· Dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya
(yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan
tanggung jawab profesi.
· Harus meminta
pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi).
· Harus ada
persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.
· Dilakukan di
sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk
oleh pemerintah.
·
Prosedur tidak
dirahasiakan.
·
Dokumen medik
harus lengkap.
b)
Abortus
Provokatus Kriminalis, aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi
medik (ilegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat
atau obat-obat tertentu.
c.
Penyebab abortus
:
Karakteristik ibu hamil dengan abortus
yaitu :
1)
Umur
Dalam
kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan
adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada
usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian
maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat
kembali sesudah usia 30-35 tahun. Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara
emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, ibu
yang masih muda masih tergantung pada orang lain.
Keguguran
sebagian dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan kehamilan remaja yang
tidak dikehendaki. Keguguran sengaja yang dilakukan oleh tenaga nonprofessional
dapat menimbulkan akibat samping yang serius seperti tingginya angka kematian
dan infeksi alat reproduksi yang pada akhirnya dapat menimbulkan kemandulan.
Abortus yang terjadi pada remaja terjadi karena mereka belum matur dan mereka
belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa.
Abortus
dapat terjadi juga pada ibu yang tua meskipun mereka telah berpengalaman,
tetapi kondisi badannya serta kesehatannya sudah mulai menurun sehingga dapat
memengaruhi janin intra uterine.
2)
Jarak hamil dan
bersalin terlalu dekat
Jarak
kehamilan kurang dari 2 tahun dapat menimbulkan pertumbuhan janin kurang baik,
persalinan lama dan perdarahan pada saat persalinan karena keadaan rahim belum
pulih dengan baik. Ibu yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan
(di bawah dua tahun) akan mengalami peningkatan risiko terhadap terjadinya
perdarahan pada trimester III, termasuk karena alasan plasenta previa, anemia
dan ketuban pecah dini serta dapat melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
3)
Paritas ibu
Anak
lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin dan perdarahan saat
persalinan karena keadaan rahim biasanya sudah lemah. Paritas 2-3 merupakan
paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan
paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi.
Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1
dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada
paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian
kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.
4)
Riwayat Kehamilan
yang lalu
Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan
terjadinya abortus lagi pada seorang wanita ialah 73% dan 83,6%. Sedangkan,
Warton dan Fraser dan Llewellyn Jones memberi prognosis yang lebih baik, yaitu
25,9% dan 39% (Wiknjosastro, 2007).
Penyebab dari segi Janin :
1)
Kematian janin
akibat kelainan bawaan.
2)
Mola hidatidosa.
3) Penyakit plasenta dan desidua,
misalnya inflamasi dan degenerasi.
d.
Aspek Hukum dan
Medikolegal Abortus Povocatus Criminalis
Abortus telah
dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi selama itu belum ada
undang-undang yang mengatur mengenai tindakan abortus. Peraturan mengenai hal
ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 4 M di mana telah ada larangan untuk
melakukan abortus. Sejak itu maka undang-undang mengenai abortus terus
mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini di mana mulai
timbul suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah di berbagai negara
di dunia terhadap tindakan abortus.
Hukum abortus di
berbagai negara dapat digolongkan dalam beberapa kategori sebagai berikut :
· Hukum yang tanpa
pengecualian melarang abortus, seperti di Belanda.
· Hukum yang
memperbolehkan abortus demi keselamatan kehidupan penderita (ibu), seperti di
Perancis dan Pakistan.
· Hukum yang
memperbolehkan abortus atas indikasi medik, seperti di Kanada, Muangthai dan
Swiss.
·
Hukum yang
memperbolehkan abortus atas indikasi sosio-medik, seperti di Eslandia, Swedia,
Inggris, Scandinavia, dan India.
·
Hukum yang
memperbolehkan abortus atas indikasi sosial, seperti di Jepang, Polandia, dan
Yugoslavia.
· Hukum yang
memperbolehkan abortus atas permintaan tanpa memperhatikan indikasi-indikasi
lainnya (Abortion on requst atau Abortion on demand), seperti di Bulgaris,
Hongaria, USSR, Singapura.
·
Hukum yang
memperbolehkan abortus atas indikasi eugenistis (aborsi boleh dilakukan bila
fetus yang akan lahir menderita cacat yang serius) misalnya di India.
·
Hukum yang
memperbolehkan aborsi atas indikasi humanitarian (misalnya bila hamil akibat
perkosaan) seperti di Jepang,
Di Indonesia, baik
menurut pandangan agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik Kedokteran, seorang
dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan
(abortus provokatus). Bahkan sejak awal seseorang yang akan menjalani profesi
dokter secara resmi disumpah dengan Sumpah Dokter Indonesia yang didasarkan
atas Deklarasi Jenewa yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippokrates, di mana ia
akan menyatakan diri untuk menghormati setiap hidup insani mulai dari saat
pembuahan.
Dari aspek etika,
Ikatan Dokter Indonesia telah merumuskannya dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia mengenai kewajiban umum, pasal 7d: :Setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Pada pelaksanaannya,
apabila ada dokter yang melakukan pelanggaran, maka penegakan implementasi etik
akan dilakukan secara berjenjang dimulai dari panitia etik di masing-masing RS
hingga Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Sanksi tertinggi dari
pelanggaran etik ini berupa "pengucilan" anggota dari profesi
tersebut dari kelompoknya. Sanksi administratif tertinggi adalah pemecatan
anggota profesi dari komunitasnya
III.
TRANSPLANTASI ORGAN
Dalam penyembuhan
suatu penyakit, adakalanya transplantasi tidak dapat dihindari dalam menyelamatkan
nyawa bagi penderita.Dengan keberhasilan teknik transplantasi dalam usaha
penyembuhan suatu penyakit dan dengan meningkatnya keterampilan dokter-dokter
dalam melakukan transplantasi, upaya transplantasi mulai diminati oleh para
penderita dalam upaya penyembuhan yang cepat dan tuntas.Untuk mengembangkan
transplantasi sebagai salah satu cara penyembuhan suatu penyakit tidak dapat
begitu saja diterima masyarakat luas.
a.
Pengertian
Transplantasi adalah
pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ke
tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan
kondisi tertentu.
Transplantasi organ
dan jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi
pasien dengan ganguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah terapi
pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong
penderita/pasien dengan kegagalan organnya, karena hasilnya lebih memuaskan
dibandingkan dengan pengobatan biasa atau dengan cara terapi. Hingga dewasa ini
transplantasi terus berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan medik ini
tidak dapat dilakukan begitu saja, karena masih harus dipertimbangkan dari segi
non medik, yaitu dari segi agama, hukum, budaya, etika dan moral. Kendala lain
yang dihadapi Indonesia dewasa ini dalam menetapkan terapi transplatasi, adalah
terbatasnya jumlah donor keluarga (Living Related Donor, LRD) dan donasi organ
jenazah. Karena itu diperlukan kerjasama yang saling mendukung antara para
pakar terkait (hukum, kedokteran, sosiologi, pemuka agama, pemuka masyarakat),
pemerintah dan swasta.
b.
Sejarah Dan
Perkembangan Transplantasi Organ
Tahun 600 SM di
India, Susrutatelah melakukan
transplantasi kulit. Sementara pada masa Renaissance, seorang ahli bedah dari Itali bernama Gaspare Tagliacozzi juga
telah melakukan hal yang sama.
Diduga John Hunter
(1728-1793) adalah pioneer bedah eksperimental, termasuk bedah transplantasi.
Dia mampu membuat cerita teknik bedah untuk menghasilkan suatu jaringan
transplantasi yang tumbuh di tempat baru.Akan tetapi sistem golongan darah dan
sistem histokompatibilitas yang erat hubungannya dengan reaksi terhadap
transplantasi belum ditemukan.
Pada abad ke-20,
Winer dan Landsteiner mendukung perkembangan transplantasi dengan menemukan
golongan darah sistem ABO dan sistem Rhesus.Saat ini perkembangan ilmu
kekebalan tubuh makin berperan dalam keberhasilan tindakan transplantasi.
Perkembangan
teknologi kedokteran terus meningkat searah dengan perkembangan teknik
transplantasi. Ilmu transplantasi modern makin berkembang dengan ditemukannya
metode-metode pencangkokan, seperti:
1)
Pencangkokan
arteria mammaria interna di dalam operasi lintas koroner oleh Dr. George E.
Green dan Parkinson
2)
Pencangkokan
jantung, dari jantung kera kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernhard, walaupun
pasiennya kemudia meninggal dalam waktu 18 hari.
3)
Pencangkokan
sel-sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke penderita Parkinson oleh
Dr. Andreas Bjornklund.
Demikian sejarah
singkat perkembangan transplantasi organ pada makhluk hidup yang telah
dilakukan oleh para ahli sejak jaman dahulu (600 SM) yang hingga sampai saat
ini metode transplantasi terus berkembang.
c. Jenis – jenis Transplantasi Organ
1)
Autograf
(Autotransplatasi), yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain
dalam tubuh orang itu sendiri. Misalnya operasi bibir sumbung, imana jaringan
atau organ yang diambil untuk menutup bagian yang sumbing diambil dari jaringan
tubuh pasien itu sendiri.
2)
Allograft
(Homotransplantasi) , yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh
seseorang ke tubuh yang lan yang sama spesiesnya, yakni manusia dengan manusia.
Homotransplantasi yang sering terjadi dan tingkat keberhasilannya tinggi,
antara lain : transplantasi ginjal dan kornea mata. Disamping itu terdapat juga
transplantasi hati, walaupun tingkat kebrhsilannya belum tinggi. Transfusi
darah sebenarnya merupakan bagian dari transplntasi ini, karena melalui
transfusi darah, bagian dari tubuh manusia (darah) dari seseorang (donor)
dipindahkan ke orang lain (recipient).
3) Xenograft (Heterotransplatasi)
, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh yang satu ke tubuh yang
lain yang berbeda spesiesnya. Misalnya antara species manusia dengan binatang.
Yang sudah terjadi contohnya daah pencangkokan hati manusia dengan hati dari
baboon (sejenis kera), meskipun tingkat keberhasilannya masih sangat kecil.
4) Isograft
(Transplantasi Singenik), yaitu pempindahan suatu jaringan atau organ dari
seseorang ke tubuh orang lain yang identik. Misalnya masih memiliki hubungan
secara genetik.
d. Komponen penting yang mendasari
tindakan transplantasi :
1)
Eksplantasi
Yaitu
usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hidup atau yang sudah
meninggal.
2)
Implantasi
Yaitu
usaha menempatkan jaringan atau organ
tubuh tersebut kepada bagian tubuh sendiri atau orang lain.
e.
Reaksi Penolakan
Terjadi oleh sel T
helper (CD4+) resepien yang mengenal antigen MHC allogenic. Sel T helper
merangsang sel Tc (T cititixic atau CD8+) mengenal antigen MHC allogenic untuk
membunuh sel sasaran. Sel T helper melalui Limfokin menyebabkan Makrofag
dikerahkan akibatna kerusakan jaringan target. Reaksi yang terjadi mirip dengan
Hipersensitivitas tipe IV (Gell dan Coombs).
Tipe reaksi penolakan :
1)
Rejeksi hiperakut
Yaitu
reaksi yang terjadi dalam 24 jam setelah transplantasi.
2)
Rejeksi Akut
Yaitu
reaksi yang terlihat pada resepien yang sebelumnya tidak tersensitasi terhadap
transplan pada penolakan umum allograft dan pengobatan imunosupresif yang
kurang efektif.
3)
Rejeksi Kronis
Yaitu
hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara perlahan beberapa bulan/tahun
sesudah organ berfungsi normal disebabkan oleh sensivitas yang timbul terhadap
antigen transplan atau oleh sebab intoleransi terhadap sel T.
IV.
SUPPORTING
DEVICES
a.
Pengertian
Supporting Devices
Supporting Devices
adalah perangkat tambahan atau pendukung. Jika ditinjau dari segi keperawatan,
maka dapat kita simpulkan kalau supporting devices itu adalah perangkat
tambahan yang digunakan dalam dunia kesehatan pada para perawat dalam melakukan
praktek.
b.
Klasifikasi
Supporting Devices
1) Alat bantu
Teknologi
medis yang canggih merupakan alat atau perkakas untuk para dokter, dan alat
bantu akan mengurangi beban perawat. Kemajuan dalam layanan medis dengan sistem
komputerisasi ang canggih, melindungi jiwa banyak orang. Produk THK memnuhi
standar reabilitas tertinggi ang diperlukan untuk alat medis.
2) Peralatan sinar X
Pemandu
LM dan Cincin Roller Lintang digunakan untuk pergerakan reseptor sinar X. Ini
memungkinkan mesin sinar X untuk menggerakkan unit transmiter dan penerim sinar
ke arah manapun dan mengambil gambar dari sudut manapun, tanpa bergantung pada
posisi pasien. Saat produk THK digunakan, getaran dan suara mesin juga
dikurangi sehingga menghilangkan kekhawatiran pasien. Sinar X yang mampu
melakukan penetrasi ke dalam tubuh
pasien.
3) Peralatan analisis otomatis
hematologikal
Splina
Bola dapat menekan getaran di ujung injektor saat dihentikan, dan mur perubah
sekrup geser memungkinkan terciptanya mekanisme pengumpanan dengan kecepatan
tinggi dan sangat mulus.
4) Pemindai CT sinar X medis
Pemindai
CT sinar X merupakan perangkat tunggal yang memindai keseluruhan tubuh pasien
dan terdiri dari pemindai CT (Computed Tomography) dan peralatan angiografi.
Pada perangkat ini, pemandu LM THK digunakan di bagian gerakan longitudinal
yang menggerakkan pasien yang terbaring di tempat tidur selama proses
pemindaian. Karena pemandu tersebut dapat mengurangi getaran dan suara selama
gerakan sistem, komponen ini dapat menghilangkan kekhawatiran pasien.
c.
Fungsi
Klasifikasi Supporting Devices
1) Fungsi Sinar X yaitu untuk melihat
kondisi tulang serta organ tubuh tanpa melakukan pembedahan pada tubuh pasien.
2) Fungsi analisis otomatis
hematologikal yaitu untuk transportasi vertikal injektor reagen dalam peralatan
tes hematologikal.
3) Fungsi CT sinar X medis yaitu untuk
diagnosis sistem sirkulasi.
4) Fungsi penopang kursi roda elektrik
yaitu dalam fasilitas mandi dengan pengangkat (lift) bertenaga listrik.
5) Fungsi Robot pendukung pembedahan
yaitu robot pendukung pembedahan dapat menjadi alat yang berdaya guna tinggi,
dan juga membuat proxide ini menjadi kompak untuk mendapatkan tingkat akurasi
tinggi selama pembedahan, sehingga mampu mensimulasi gerakan dokter yang dapat
diandalkan.
6) Fungsi Handheld yaitu mulai
meningkatkan kemampuan untuk berfikir kritis terkait tindakan keperawatan yang
diberikan kepada pasien sesuai dengan kondisi dan penyakit yang diderita oleh
pasien tersebut.
7) Fungsi Handheld Device yaitu Handheld
device digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien melalui
kemampuan mengakses informasi, mempermudah penghitungan, dan memperlancar
komunikasi.
8) Fungsi Wireless Communication yaitu
untuk memperoleh hasil pemeriksaan laboratorium pasien atau melakukan perubahan
pesanan ke laboratorium.
d. Dampak Negatif Supporting Devices
1) Sinar X
Terlepas
dari peranan Sinar X dalam menunjang informasi diagnosis klinis, Sinar X
ternyata memiliki sisi yang sangat perlu diperhatikan secara khusus, yaitu berkaitan dengan efek negatif yang
ditimbulkan.
Perlu diketahui bahwa Sinar X dengan
karakteristiknya memiliki energi minimal sebesar 1 KeV = 1000 eV. Energi
sebesar ini jika berinteraksi dengan tubuh manusia tentunya dikhawatirkan akan
memberikan dampak negatif.
Ada beberapa kemungkinan peristiwa
yang dapat terjadi, ketika Sinar X berinteraksi dengan materi (tubuh manusia)
dari sudut pandang mikroskopis, yaitu hamburan Compton, hamburan Fotolistrik
dan hamburan Pair Production. Hamburan
Compton terjadi karena Sinar X berinteraksi
dengan elektron yang terletak pada lintasan terluar, yang selanjutnya elektron
ini akan terlempar keluar dari atom.
Efek hamburan Compton umumnya terjadi
pada rentang energi sekitar 26 keV (kilo elektron volt) untuk diagnostik.
Hamburan fotolistrik terjadi ketika Sinar X berinteraksi dengan atom materi dan
melemparkan salah satu elektron sehingga mengakibatkan elektron lainnya,
bergerak menuju lintasan yang kehilangan elektron sambil melepaskan energinya.
Hamburan ini juga dapat terjadi pada
energi untuk diagnostik. Sedangkan hamburan pair production jarang sekali terjadi
di bidang imaging diagnostik karena membutuhkan energi Sinar X yang sangat
besar 1,02 MeV (mega elektron volt). Walaupun sudut pandang ini hanya dilihat
secara mikroskopis, secara makroskopis dikhawatirkan akan mengganggu kestabilan
atom materi dan menimbulkan kelainan pada sel tubuh manusia.
Ini perlu kehati-hatian dan pemilihan
yang tepat dalam penggunaannya di bidang medis. Walaupun secara empiris pasien
yang diberikan Sinar X pada level diagnostik medis di rumah sakit tidak
mengalami gejala ataupun tanda-tanda kerusakan jaringan. Namun gejala kelainan
pada tubuh manusia akan muncul jika diberikan Sinar X secara berlebihan. Oleh
karena itu paparan radiasi medis (diagnostik imaging) yang mengenai tubuh
pasien diharapkan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan kebutuhan dalam imaging
adalah kualitas citra yang mampu menunjang diagnosis klinis yang diderita
pasien dengan tidak memberikan paparan radiasi yang berlebihan atau tidak
dibutuhkan kepada tubuh pasien.
2) CT Scan
Ternyata radiasi alat-alat tersebut
dalam waktu lama bisa meningkatkan risiko terserang penyakit leukemia.
Sinar-X adalah suatu radiasi
berenergi kuat yang tergantung pada dosisnya, dapat mengurangi pembelahan sel,
merusak materi genetik, dan menimbulkan defek pada bayi yang belum dilahirkan.
Sel-sel yang membelah cepat adalah paling sensitif terhadap paparan sinar-x.
Bayi dalam perut ibu sensitif terhadap sinar-x karena sel-selnya masih dalam
taraf pembelahan dengan cepat, dan berkembang menjadi jaringan dan organ yang
berbeda-beda. Pada dosis tertentu, paparan sinar-x pada wanita hamil dapat
menyebabkan keguguran atau cacat pada janin yang dikandungnya, termasuk
kemungkinan terjadinya kanker pada usia dewasa.
Memang sebagian besar prosedur
pemaparan sinar-x menghasilkan radiasi yang relatif ringan. Namun sebagai
langkah jaga-jaga, penggunaan sinar-x pada wanita hamil kecuali benar-benar
perlu,harus dihindari. Wanita yang melalui pemeriksaan rontgen sebelum
mengetahui status kehamilannya harus berbicara kepada dokternya.
CT Scan memang bisa memberikan hasil
tes medis secara cepat dan rinci. Beberapa penyakit pada anak seperti radang
paru atau patah tulang juga membutuhkan alat-alat pemindai kesehatan untuk
diagnosis yang lebih akurat.
Tetapi para ahli juga mengingatkan
bahaya terselubung yang mungkin timbul. Pada anak-anak, paparan sinar-X tiga
kali atau lebih akan meningkatkan ancaman leukimia. "Menghindari atau
mengurangi paparan radiasi sangat penting," kata Patricia Buffler, dari
Univesitas Berkeleys School of Public Health, Amerika.
Dalam penelitiannya, ia mengamati
catatan medis 711 anak berusia maksimal 14 tahun yang didiagnosa leukimia
limfoid akut di California antara tahun 1995-2008. Ia membandingkannya dengan
data anak yang tidak menderita leukimia.
Secara umum peningkatan risiko
leukimia pada anak memang tidak terlalu besar. Dari 100.000 anak, ada 4 yang
terkena leukimia. Namun, meski kasus kankernya kecil, tetap saja risikonya ada.
Buffler menjelaskan, radiasi yang terdapat dalam sinar-X membuat sel-sel dalam
tubuh bermutasi dan menciptakan kanker. CT-Scan yang belakangan ini sangat
populer memiliki tingkat radiasi yang lebih tinggi.
Pemajanan medan elektromagnet yang
terlalu sering diduga meningkatkan risiko kanker. Demikian studi terbaru yang
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah New England Journal of Medicine.
Kesimpulan tersebut didapat
berdasarkan survei terhadap 950.000 pasien. Hampir 70 persen pasien pernah
mengalami sekurangnya satu kali prosedur pencitraan yang membuat mereka
terpajan. Dalam waktu tiga tahun selanjutnya, diketahui mereka menderita
kanker.
DAFTAR PUSTAKA
·
Bertens, K.2001.
Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
·
Ismani, Nila.
2001. Etika Keperawatan. Jakarta : Widya
Medika
·
Notoatmodjo,
Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta
·
Weitzel, marlene.
1984. Dasar-dasar ilmu keperawatan. Jakarta : Gunung Agung
·
Roper, nancy.
1996. Prinsip-prinsip keperawatan. Yogyakarta : Abdi Yogyakarta
·
Wikipedia(2012).Eutanasia.From
http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia, 10 September 2012
Apuranto, H. 2006. Ilmu Kedokteran Forensik Dan
Medikolegal.Surabaya: Bag. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokter