Selasa, 12 Maret 2013

ISUE ETIK DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN



ISUE ETIK DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN





I.    EUTHANASIA

a.      Pengertian

Istilah euthanasia berasal dari bahasa yunani “euthanathos”. Eu ­artinya baik, tanpa penderitaan ; sedangkan thanathos ­artinya mati atau kematian. Dengan demikian, secara etimologis, euthanasia dapat diartikan kematian yang baik atau mati dengan baik tanpa penderitaan.Ada pula yang menerjemahkan bahwa euthanasia secara etimologis adalah mati cepat tanpa penderitaan.

Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi

"Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

Banyak ragam pengertian euthanasia yang sudah muncul saat ini. Ada yang menyebutkan bahwa euthanasia merupakan praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukuan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Saat ini yang dimaksudkan dengan enthanasia adalah bahwa seorang dokter mengakhiri kehidupan pasien terminal dengan memberikan suntikan yang mematikan atas permintaan pasien itu sendiri., atau dengan kata lain euthanasia merupakan pembunuhan legal.

Belanda, salah satu Negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yaitu :

“Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri”.


b.      Jenis-jenis Euthanasia

Euthanasia dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, sesuai dengan dari mana sudut pandangnya atau cara melihatnya.

Dilihat dari cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibedakan atas :

1)      Euthanasia pasif

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan hidup pasin. Dengan kata lain, euthanasia pasif merupakan tindakan tidak memberikan pengobatan lagi kepada pasien terminal untuk mengakhiri hidupnya. Tindakan pada euthanasia pasif ini dilakukan secara sengaja dengan tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, seperti tidak memberikan alat-alat bantu hidup atau obat-obat penahan rasa sakit, dan sebagainya.

Penyalahgunaan euthanasia pasif biasa dilakukan oleh tenaga medis maupun keluarga pasien sendiri. Keluarga pasien bisa saja menghendaki kematian anggota keluarga mereka dengan berbagai alasan, misalnya untuk mengurangi penderitaan pasien itu sendiri atau karena sudah tidak mampu membayar biaya pengobatan.


2)      Euthanasia aktif atau euthanasia agresif

Euthanasia aktif atau euthanasia agresif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia. Dengan kata lain, Euthanasia agresif atau euthanasia aktif adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk mnimbulkan kematian dengan secara sengaja melalui obat-obatan atau dengan cara lain sehingga pasien tersebut meninggal.


Euthanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas :

-        Euthanasia aktif langsung (direct)

Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannnya tindakan medis secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini juga dikenal sebagai mercy killing.

-        Euthanasia aktif tidak langsung (indirect)

Euthanasia aktif tidak langsung adalah saat dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya risiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.


Ditinjau dari permintaan atau pemberian izin, euthanasia dibedakan atas :

1)      Euthanasia Sukarela (Voluntir)

Euthanasia yang dilakukan oleh tenaga medis atas permintaan pasien itu sendiri. Permintaan pasien ini dilakukan dengan sadar atau dengan kata lain permintaa pasien secara sadar dn berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun juga.

2)      Euthanasia Tidak Sukarela (Involuntir)

Euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar. Permintaan biasanya dilakukan oleh keluarga pasien. Ini  terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental, kekurangan biaya, kasihan kepada penderitaan pasien, dan lain sebagainya.

Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma). Euthanasia ini seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya hanya seorang wali dari pasien dan mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi pasien tersebut.



II.              ABORSI
a.      pengertian

Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur.

Dalam ilmu kedokteran, istilah-istilah ini digunakan untuk membedakan aborsi:

1)   Spontaneous abortion: gugur kandungan yang disebabkan oleh trauma kecelakaan atau sebab-sebab alami.

2)   Induced abortion atau procured abortion: pengguguran kandungan yang disengaja. Termasuk di dalamnya adalah:

a)    Therapeutic abortion: pengguguran yang dilakukan karena kehamilan tersebut mengancam kesehatan jasmani atau rohani sang ibu, kadang-kadang dilakukan sesudah pemerkosaan.

b)      Eugenic abortion: pengguguran yang dilakukan terhadap janin yang cacat.

c)      Elective abortion: pengguguran yang dilakukan untuk alasan-alasan lain.

d)     Dalam bahasa sehari-hari, istilah "keguguran" biasanya digunakan untuk spontaneous abortion, sementara "aborsi" digunakan untuk induced abortion.


b.      Klasifikasi Abortus :

1) Abortus spontanea. Abortus spontanea merupakan abortus yang berlangsung tanpa tindakan, dalam hal ini dibedakan sebagai berikut:

a)  Abortus imminens, Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.

b)  Abortus insipiens, Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus.

c)    Abortus inkompletus, Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.

d)      Abortus kompletus, semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan.

Etiologi Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab yaitu :

      • Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, biasanya menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia 8 minggu. Faktor yang menyebabkan kelainan ini adalah :

-        Kelainan kromosom, terutama trimosoma dan monosoma X

-        Lingkungan sekitar tempat impaltasi kurang sempurna

-        Pengaruh teratogen akibat radiasi, virus, obat-obatan temabakau dan alkohol

      • Kelainan pada plasenta, misalnya endarteritis vili korialis karena hipertensi menahun

      • Faktor maternal seperti pneumonia, typus, anemia berat, keracunan dan toksoplasmosis.
      • Kelainan traktus genetalia, seperti inkompetensi serviks (untuk abortus pada trimester kedua), retroversi uteri, mioma uteri dan kelainan bawaan uterus.

2)      Abortus provokatus

Abortus provokatus merupakan jenis abortus yang sengaja dibuat/dilakukan, yaitu dengan cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Pada umumnya bayi dianggap belum dapat hidup diluar kandungan apabila usia kehamilan belum mencapai 28 minggu, atau berat badan bayi kurang dari 1000 gram, walaupun terdapat beberapa kasus bayi dengan berat dibawah 1000 gram dapat terus hidup.

Pengelompokan Abortus provokatus secara lebih spesifik:

a)  Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus, abortus yang dilakukan dengan disertai indikasi medik. Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Syarat-syaratnya:

·       Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi.

·       Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi).

·       Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.

·       Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah.

·       Prosedur tidak dirahasiakan.

·       Dokumen medik harus lengkap.

b)      Abortus Provokatus Kriminalis, aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik (ilegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat tertentu.



c.       Penyebab abortus :

Karakteristik ibu hamil dengan abortus yaitu :

1)      Umur

Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun. Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, ibu yang masih muda masih tergantung pada orang lain.

Keguguran sebagian dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan kehamilan remaja yang tidak dikehendaki. Keguguran sengaja yang dilakukan oleh tenaga nonprofessional dapat menimbulkan akibat samping yang serius seperti tingginya angka kematian dan infeksi alat reproduksi yang pada akhirnya dapat menimbulkan kemandulan. Abortus yang terjadi pada remaja terjadi karena mereka belum matur dan mereka belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa.

Abortus dapat terjadi juga pada ibu yang tua meskipun mereka telah berpengalaman, tetapi kondisi badannya serta kesehatannya sudah mulai menurun sehingga dapat memengaruhi janin intra uterine.

2)      Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat

Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun dapat menimbulkan pertumbuhan janin kurang baik, persalinan lama dan perdarahan pada saat persalinan karena keadaan rahim belum pulih dengan baik. Ibu yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan (di bawah dua tahun) akan mengalami peningkatan risiko terhadap terjadinya perdarahan pada trimester III, termasuk karena alasan plasenta previa, anemia dan ketuban pecah dini serta dapat melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.

3)      Paritas ibu

Anak lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin dan perdarahan saat persalinan karena keadaan rahim biasanya sudah lemah. Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.

4)      Riwayat Kehamilan yang lalu

Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita ialah 73% dan 83,6%. Sedangkan, Warton dan Fraser dan Llewellyn Jones memberi prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan 39% (Wiknjosastro, 2007).

Penyebab dari segi Janin :

1)      Kematian janin akibat kelainan bawaan.

2)      Mola hidatidosa.

3)      Penyakit plasenta dan desidua, misalnya inflamasi dan degenerasi.

d.      Aspek Hukum dan Medikolegal Abortus Povocatus Criminalis

Abortus telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi selama itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai tindakan abortus. Peraturan mengenai hal ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 4 M di mana telah ada larangan untuk melakukan abortus. Sejak itu maka undang-undang mengenai abortus terus mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini di mana mulai timbul suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah di berbagai negara di dunia terhadap tindakan abortus.

Hukum abortus di berbagai negara dapat digolongkan dalam beberapa kategori sebagai berikut :

·      Hukum yang tanpa pengecualian melarang abortus, seperti di Belanda.

·      Hukum yang memperbolehkan abortus demi keselamatan kehidupan penderita (ibu), seperti di Perancis dan Pakistan.

·      Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi medik, seperti di Kanada, Muangthai dan Swiss.

·       Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosio-medik, seperti di Eslandia, Swedia, Inggris, Scandinavia, dan India.

·      Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosial, seperti di Jepang, Polandia, dan Yugoslavia.

·      Hukum yang memperbolehkan abortus atas permintaan tanpa memperhatikan indikasi-indikasi lainnya (Abortion on requst atau Abortion on demand), seperti di Bulgaris, Hongaria, USSR, Singapura.

·      Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi eugenistis (aborsi boleh dilakukan bila fetus yang akan lahir menderita cacat yang serius) misalnya di India.

·       Hukum yang memperbolehkan aborsi atas indikasi humanitarian (misalnya bila hamil akibat perkosaan) seperti di Jepang,

Di Indonesia, baik menurut pandangan agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan (abortus provokatus). Bahkan sejak awal seseorang yang akan menjalani profesi dokter secara resmi disumpah dengan Sumpah Dokter Indonesia yang didasarkan atas Deklarasi Jenewa yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippokrates, di mana ia akan menyatakan diri untuk menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.

Dari aspek etika, Ikatan Dokter Indonesia telah merumuskannya dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban umum, pasal 7d: :Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Pada pelaksanaannya, apabila ada dokter yang melakukan pelanggaran, maka penegakan implementasi etik akan dilakukan secara berjenjang dimulai dari panitia etik di masing-masing RS hingga Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Sanksi tertinggi dari pelanggaran etik ini berupa "pengucilan" anggota dari profesi tersebut dari kelompoknya. Sanksi administratif tertinggi adalah pemecatan anggota profesi dari komunitasnya




III.              TRANSPLANTASI  ORGAN

Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya transplantasi tidak dapat dihindari dalam menyelamatkan nyawa bagi penderita.Dengan keberhasilan teknik transplantasi dalam usaha penyembuhan suatu penyakit dan dengan meningkatnya keterampilan dokter-dokter dalam melakukan transplantasi, upaya transplantasi mulai diminati oleh para penderita dalam upaya penyembuhan yang cepat dan tuntas.Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah satu cara penyembuhan suatu penyakit tidak dapat begitu saja diterima masyarakat luas.


a.      Pengertian

Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu.

Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan ganguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong penderita/pasien dengan kegagalan organnya, karena hasilnya lebih memuaskan dibandingkan dengan pengobatan biasa atau dengan cara terapi. Hingga dewasa ini transplantasi terus berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan medik ini tidak dapat dilakukan begitu saja, karena masih harus dipertimbangkan dari segi non medik, yaitu dari segi agama, hukum, budaya, etika dan moral. Kendala lain yang dihadapi Indonesia dewasa ini dalam menetapkan terapi transplatasi, adalah terbatasnya jumlah donor keluarga (Living Related Donor, LRD) dan donasi organ jenazah. Karena itu diperlukan kerjasama yang saling mendukung antara para pakar terkait (hukum, kedokteran, sosiologi, pemuka agama, pemuka masyarakat), pemerintah dan swasta.


b.      Sejarah Dan Perkembangan Transplantasi Organ

Tahun 600 SM di India,  Susrutatelah melakukan transplantasi kulit. Sementara pada masa Renaissance, seorang ahli bedah  dari Itali bernama Gaspare Tagliacozzi juga telah melakukan hal yang sama.

Diduga John Hunter (1728-1793) adalah pioneer bedah eksperimental, termasuk bedah transplantasi. Dia mampu membuat cerita teknik bedah untuk menghasilkan suatu jaringan transplantasi yang tumbuh di tempat baru.Akan tetapi sistem golongan darah dan sistem histokompatibilitas yang erat hubungannya dengan reaksi terhadap transplantasi belum ditemukan.

Pada abad ke-20, Winer dan Landsteiner mendukung perkembangan transplantasi dengan menemukan golongan darah sistem ABO dan sistem Rhesus.Saat ini perkembangan ilmu kekebalan tubuh makin berperan dalam keberhasilan tindakan transplantasi.

Perkembangan teknologi kedokteran terus meningkat searah dengan perkembangan teknik transplantasi. Ilmu transplantasi modern makin berkembang dengan ditemukannya metode-metode pencangkokan, seperti:

1)      Pencangkokan arteria mammaria interna di dalam operasi lintas koroner oleh Dr. George E. Green dan Parkinson

2)      Pencangkokan jantung, dari jantung kera kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernhard, walaupun pasiennya kemudia meninggal dalam waktu 18 hari.

3)      Pencangkokan sel-sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke penderita Parkinson oleh Dr. Andreas Bjornklund.

Demikian sejarah singkat perkembangan transplantasi organ pada makhluk hidup yang telah dilakukan oleh para ahli sejak jaman dahulu (600 SM) yang hingga sampai saat ini metode transplantasi terus berkembang.


c.       Jenis – jenis Transplantasi Organ

1)      Autograf (Autotransplatasi), yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri. Misalnya operasi bibir sumbung, imana jaringan atau organ yang diambil untuk menutup bagian yang sumbing diambil dari jaringan tubuh pasien itu sendiri.

2)      Allograft (Homotransplantasi) , yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh yang lan yang sama spesiesnya, yakni manusia dengan manusia. Homotransplantasi yang sering terjadi dan tingkat keberhasilannya tinggi, antara lain : transplantasi ginjal dan kornea mata. Disamping itu terdapat juga transplantasi hati, walaupun tingkat kebrhsilannya belum tinggi. Transfusi darah sebenarnya merupakan bagian dari transplntasi ini, karena melalui transfusi darah, bagian dari tubuh manusia (darah) dari seseorang (donor) dipindahkan ke orang lain (recipient).

3)   Xenograft (Heterotransplatasi) , yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh yang satu ke tubuh yang lain yang berbeda spesiesnya. Misalnya antara species manusia dengan binatang. Yang sudah terjadi contohnya daah pencangkokan hati manusia dengan hati dari baboon (sejenis kera), meskipun tingkat keberhasilannya masih sangat kecil.

4) Isograft (Transplantasi Singenik), yaitu pempindahan suatu jaringan atau organ dari seseorang ke tubuh orang lain yang identik. Misalnya masih memiliki hubungan secara genetik.



d.      Komponen penting yang mendasari tindakan transplantasi :

1)      Eksplantasi

Yaitu usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hidup atau yang sudah meninggal.

2)      Implantasi

Yaitu usaha menempatkan jaringan  atau organ tubuh tersebut kepada bagian tubuh sendiri atau orang lain.



e.      Reaksi Penolakan

Terjadi oleh sel T helper (CD4+) resepien yang mengenal antigen MHC allogenic. Sel T helper merangsang sel Tc (T cititixic atau CD8+) mengenal antigen MHC allogenic untuk membunuh sel sasaran. Sel T helper melalui Limfokin menyebabkan Makrofag dikerahkan akibatna kerusakan jaringan target. Reaksi yang terjadi mirip dengan Hipersensitivitas tipe IV (Gell dan Coombs).

Tipe reaksi penolakan :

1)      Rejeksi hiperakut     

Yaitu reaksi yang terjadi dalam 24 jam setelah transplantasi.

2)      Rejeksi Akut

Yaitu reaksi yang terlihat pada resepien yang sebelumnya tidak tersensitasi terhadap transplan pada penolakan umum allograft dan pengobatan imunosupresif yang kurang efektif.

3)      Rejeksi Kronis

Yaitu hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara perlahan beberapa bulan/tahun sesudah organ berfungsi normal disebabkan oleh sensivitas yang timbul terhadap antigen transplan atau oleh sebab intoleransi terhadap sel T.




IV.              SUPPORTING DEVICES
a.      Pengertian Supporting Devices

Supporting Devices adalah perangkat tambahan atau pendukung. Jika ditinjau dari segi keperawatan, maka dapat kita simpulkan kalau supporting devices itu adalah perangkat tambahan yang digunakan dalam dunia kesehatan pada para perawat dalam melakukan praktek.

b.      Klasifikasi Supporting Devices

1)      Alat bantu      

Teknologi medis yang canggih merupakan alat atau perkakas untuk para dokter, dan alat bantu akan mengurangi beban perawat. Kemajuan dalam layanan medis dengan sistem komputerisasi ang canggih, melindungi jiwa banyak orang. Produk THK memnuhi standar reabilitas tertinggi ang diperlukan untuk alat medis.

2)      Peralatan sinar X   

Pemandu LM dan Cincin Roller Lintang digunakan untuk pergerakan reseptor sinar X. Ini memungkinkan mesin sinar X untuk menggerakkan unit transmiter dan penerim sinar ke arah manapun dan mengambil gambar dari sudut manapun, tanpa bergantung pada posisi pasien. Saat produk THK digunakan, getaran dan suara mesin juga dikurangi sehingga menghilangkan kekhawatiran pasien. Sinar X yang mampu melakukan penetrasi ke dalam tubuh  pasien.

3)      Peralatan analisis otomatis hematologikal    

Splina Bola dapat menekan getaran di ujung injektor saat dihentikan, dan mur perubah sekrup geser memungkinkan terciptanya mekanisme pengumpanan dengan kecepatan tinggi dan sangat mulus.

4)      Pemindai CT sinar X medis    

Pemindai CT sinar X merupakan perangkat tunggal yang memindai keseluruhan tubuh pasien dan terdiri dari pemindai CT (Computed Tomography) dan peralatan angiografi. Pada perangkat ini, pemandu LM THK digunakan di bagian gerakan longitudinal yang menggerakkan pasien yang terbaring di tempat tidur selama proses pemindaian. Karena pemandu tersebut dapat mengurangi getaran dan suara selama gerakan sistem, komponen ini dapat menghilangkan kekhawatiran pasien.

c.       Fungsi Klasifikasi Supporting Devices

1)   Fungsi Sinar X yaitu untuk melihat kondisi tulang serta organ tubuh tanpa melakukan pembedahan pada tubuh pasien.

2)   Fungsi analisis otomatis hematologikal yaitu untuk transportasi vertikal injektor reagen dalam peralatan tes hematologikal.

3)    Fungsi CT sinar X medis yaitu untuk diagnosis sistem sirkulasi.

4)   Fungsi penopang kursi roda elektrik yaitu dalam fasilitas mandi dengan pengangkat (lift) bertenaga listrik.

5)    Fungsi Robot pendukung pembedahan yaitu robot pendukung pembedahan dapat menjadi alat yang berdaya guna tinggi, dan juga membuat proxide ini menjadi kompak untuk mendapatkan tingkat akurasi tinggi selama pembedahan, sehingga mampu mensimulasi gerakan dokter yang dapat diandalkan.

6)    Fungsi Handheld yaitu mulai meningkatkan kemampuan untuk berfikir kritis terkait tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien sesuai dengan kondisi dan penyakit yang diderita oleh pasien tersebut.

7)    Fungsi Handheld Device yaitu Handheld device digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien melalui kemampuan mengakses informasi, mempermudah penghitungan, dan memperlancar komunikasi.

8)    Fungsi Wireless Communication yaitu untuk memperoleh hasil pemeriksaan laboratorium pasien atau melakukan perubahan pesanan ke laboratorium.


d.      Dampak Negatif Supporting Devices

1)      Sinar X

Terlepas dari peranan Sinar X dalam menunjang informasi diagnosis klinis, Sinar X ternyata memiliki sisi yang sangat perlu diperhatikan secara khusus, yaitu  berkaitan dengan efek negatif yang ditimbulkan.

Perlu diketahui bahwa Sinar X dengan karakteristiknya memiliki energi minimal sebesar 1 KeV = 1000 eV. Energi sebesar ini jika berinteraksi dengan tubuh manusia tentunya dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif.

Ada beberapa kemungkinan peristiwa yang dapat terjadi, ketika Sinar X berinteraksi dengan materi (tubuh manusia) dari sudut pandang mikroskopis, yaitu hamburan Compton, hamburan Fotolistrik dan hamburan  Pair Production. Hamburan Compton terjadi karena  Sinar X berinteraksi dengan elektron yang terletak pada lintasan terluar, yang selanjutnya elektron ini akan terlempar keluar dari atom.

Efek hamburan Compton umumnya terjadi pada rentang energi sekitar 26 keV (kilo elektron volt) untuk diagnostik. Hamburan fotolistrik terjadi ketika Sinar X berinteraksi dengan atom materi dan melemparkan salah satu elektron sehingga mengakibatkan elektron lainnya, bergerak menuju lintasan yang kehilangan elektron sambil melepaskan energinya.

Hamburan ini juga dapat terjadi pada energi untuk diagnostik. Sedangkan hamburan pair production jarang sekali terjadi di bidang imaging diagnostik karena membutuhkan energi Sinar X yang sangat besar 1,02 MeV (mega elektron volt). Walaupun sudut pandang ini hanya dilihat secara mikroskopis, secara makroskopis dikhawatirkan akan mengganggu kestabilan atom materi dan menimbulkan kelainan pada sel tubuh manusia.

Ini perlu kehati-hatian dan pemilihan yang tepat dalam penggunaannya di bidang medis. Walaupun secara empiris pasien yang diberikan Sinar X pada level diagnostik medis di rumah sakit tidak mengalami gejala ataupun tanda-tanda kerusakan jaringan. Namun gejala kelainan pada tubuh manusia akan muncul jika diberikan Sinar X secara berlebihan. Oleh karena itu paparan radiasi medis (diagnostik imaging) yang mengenai tubuh pasien diharapkan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan kebutuhan dalam imaging adalah kualitas citra yang mampu menunjang diagnosis klinis yang diderita pasien dengan tidak memberikan paparan radiasi yang berlebihan atau tidak dibutuhkan kepada tubuh pasien.

2)      CT Scan

Ternyata radiasi alat-alat tersebut dalam waktu lama bisa meningkatkan risiko terserang penyakit leukemia.

Sinar-X adalah suatu radiasi berenergi kuat yang tergantung pada dosisnya, dapat mengurangi pembelahan sel, merusak materi genetik, dan menimbulkan defek pada bayi yang belum dilahirkan. Sel-sel yang membelah cepat adalah paling sensitif terhadap paparan sinar-x. Bayi dalam perut ibu sensitif terhadap sinar-x karena sel-selnya masih dalam taraf pembelahan dengan cepat, dan berkembang menjadi jaringan dan organ yang berbeda-beda. Pada dosis tertentu, paparan sinar-x pada wanita hamil dapat menyebabkan keguguran atau cacat pada janin yang dikandungnya, termasuk kemungkinan terjadinya kanker pada usia dewasa.

Memang sebagian besar prosedur pemaparan sinar-x menghasilkan radiasi yang relatif ringan. Namun sebagai langkah jaga-jaga, penggunaan sinar-x pada wanita hamil kecuali benar-benar perlu,harus dihindari. Wanita yang melalui pemeriksaan rontgen sebelum mengetahui status kehamilannya harus berbicara kepada dokternya.

CT Scan memang bisa memberikan hasil tes medis secara cepat dan rinci. Beberapa penyakit pada anak seperti radang paru atau patah tulang juga membutuhkan alat-alat pemindai kesehatan untuk diagnosis yang lebih akurat.

Tetapi para ahli juga mengingatkan bahaya terselubung yang mungkin timbul. Pada anak-anak, paparan sinar-X tiga kali atau lebih akan meningkatkan ancaman leukimia. "Menghindari atau mengurangi paparan radiasi sangat penting," kata Patricia Buffler, dari Univesitas Berkeleys School of Public Health, Amerika.

Dalam penelitiannya, ia mengamati catatan medis 711 anak berusia maksimal 14 tahun yang didiagnosa leukimia limfoid akut di California antara tahun 1995-2008. Ia membandingkannya dengan data anak yang tidak menderita leukimia.

Secara umum peningkatan risiko leukimia pada anak memang tidak terlalu besar. Dari 100.000 anak, ada 4 yang terkena leukimia. Namun, meski kasus kankernya kecil, tetap saja risikonya ada. Buffler menjelaskan, radiasi yang terdapat dalam sinar-X membuat sel-sel dalam tubuh bermutasi dan menciptakan kanker. CT-Scan yang belakangan ini sangat populer memiliki tingkat radiasi yang lebih tinggi.

Pemajanan medan elektromagnet yang terlalu sering diduga meningkatkan risiko kanker. Demikian studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah New England Journal of Medicine.

Kesimpulan tersebut didapat berdasarkan survei terhadap 950.000 pasien. Hampir 70 persen pasien pernah mengalami sekurangnya satu kali prosedur pencitraan yang membuat mereka terpajan. Dalam waktu tiga tahun selanjutnya, diketahui mereka menderita kanker.








DAFTAR PUSTAKA

·         Bertens, K.2001. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

·         Ismani, Nila. 2001. Etika  Keperawatan. Jakarta : Widya Medika

·         Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta

·         Weitzel, marlene. 1984. Dasar-dasar ilmu keperawatan. Jakarta : Gunung Agung

·         Roper, nancy. 1996. Prinsip-prinsip keperawatan. Yogyakarta : Abdi Yogyakarta

·         Wikipedia(2012).Eutanasia.From http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia, 10 September 2012

Apuranto, H. 2006. Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal.Surabaya: Bag. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokter